Subang|Suarapurwasuka.com|– Di tengah semangat membangun sinergi keamanan dan ketertiban demi menarik investasi, Bupati Subang Reynaldy Putra Andita justru menuai kritik dari elemen masyarakat adat yang merasa diabaikan dalam upaya serupa.
Pada Jumat, 16 Mei 2025, Bupati Subang menghadiri Rapat Koordinasi dan penandatanganan Nota Kesepakatan serta Komitmen Bersama terkait sinergi keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum di Gedung Pakuan, Bandung. Acara tersebut melibatkan seluruh kepala daerah dan kapolres se-Jawa Barat, termasuk Kabupaten Subang bersama Polres Subang, serta kerja sama lintas institusi seperti Pemprov Jabar, Polda Jabar, dan Polda Metro Jaya.
Dalam kesempatan itu, Bupati yang akrab disapa Kang Rey menegaskan pentingnya kerja sama tersebut dalam menjamin rasa aman demi mendukung iklim investasi di daerah. Ia menyebut bahwa keamanan adalah prasyarat utama untuk menarik investor dan menciptakan efek ganda seperti penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan daerah.
“Investasi harus dilindungi. Kami akan bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang mengganggu. Saya jamin Subang aman, nyaman, dan tenteram untuk investasi,” ujar Kang Rey dengan nada optimis.
Namun, di balik pernyataan itu, muncul suara kritis dari Lembaga Adat Karatwan (LAK) Galuh Pakuan. Melalui Rakean Galuh Pakuan, Niskala Mulya Rahadian Fathir, Fathir justru mempertanyakan konsistensi Bupati dalam mendukung investasi – terutama yang diprakarsai oleh kelompok masyarakat adat.
Fathir menilai Kang Rey bersikap abai terhadap upaya Galuh Pakuan yang menghadirkan investor asing dari Tiongkok demi pembangunan Subang. Ia menyebut, ketidakhadiran Bupati beserta jajarannya dalam acara penting yang digagas Galuh Pakuan untuk konferensi investasi tersebut, menunjukkan minimnya dukungan pemerintah daerah terhadap inisiatif lokal.
“Terkesan ironis. Saat kami ingin mewujudkan peradaban maju di Subang, justru kami merasa tidak didukung. Bahkan sekadar hadir pun tidak,” ujar Fathir.
Kritik tak berhenti di situ. Fathir juga menyinggung adanya hambatan teknis yang dinilai sebagai bentuk sabotase terhadap acara yang mereka selenggarakan.
“Kami bahkan mendapat perlakuan tak menyenangkan. Air, pendingin ruangan, hingga ambulans untuk keperluan darurat dihambat. Acara kami seperti diboikot,” ungkapnya.
Fathir menilai pernyataan Bupati tentang “tidak mentoleransi penghambat investasi” menjadi kontradiktif jika dirinya sendiri dianggap tidak mendukung upaya serupa yang datang dari masyarakat.
“Pernyataan beliau seakan hanya retorika jika dalam praktiknya malah menghambat progres yang kami usung,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Fathir meminta Bupati Subang agar lebih bijak dalam bersikap, terutama dalam menyikapi inisiatif pembangunan dari berbagai elemen masyarakat.
“Kami menyayangkan kejadian ini. Semua yang kami lakukan demi kemajuan Subang. Kami berharap Bupati bisa lebih terbuka dan bijaksana,” tutupnya.
Pernyataan dan kritik dari masyarakat adat ini menjadi pengingat penting bahwa sinergi pembangunan bukan hanya soal seremoni, tetapi juga soal konsistensi dan keterbukaan terhadap inisiatif warga. Retorika tentang investasi harus dibarengi dengan keberpihakan nyata, tanpa diskriminasi terhadap siapa yang menggagasnya.
Redd